POLITIK EKONOMI ISLAM MENJAMIN
TERWUJUDNYA KETAHANAN PANGAN
Oleh: Wahidah
Muqadimah
Pangan
merupakan komoditas penting dan strategis karena pangan merupakan kebutuhan
pokok manusia yang pemenuhannya menjadi hak dasar setiap manusia. Kecukupan pangan menentukan kualitas
sumberdaya manusia dan ketahanan bangsa. Oleh karena pentingnya pangan bagi
manusia maka PBB-pun menetapkan adanya Hari Pangan Sedunia (HPS). HPS mulai dilaksanakan sejak Food
and Agricultural Organization (FAO) menetapkan World Food Day melalui Resolusi PBB no 1/1979 dan sejak 1981
seluruh negara anggota FAO termasuk Indonesia memperingati HPS pada tanggal 16
Oktober.
Pelaksanaan HPS
dimaksudkan sebagai media untuk meningkatkan pemahaman, kepedulian, dan
menggalang kerjasama dengan pihak-pihak terkait dalam sinergi menangani masalah
pangan yang sedang aktual serta mengingatkan kembali bahwa perwujudan ketahanan
pangan adalah tanggung jawab bersama yang harus dilaksanakan bagi keberlanjutan
peradaban manusia. Tema yang diambil
berbeda setiap tahun sesuai dengan perkembangan masalah pangan. Hari Pangan
Sedunia ke-33 tahun 2013 ini bertema Suistainable
Food System for Food Security and
Nutrition dan Indonesia mengambil tema Optimalisasi Sumberdaya Lokal
menuju Kemandirian Pangan. Tema-tema
tersebut merupakan komitmen sekaligus harapan yang ingin diwujudkan oleh dunia
dan setiap negara yaitu terpenuhinya kebutuhan pangan penduduk untuk dapat
hidup sehat dan produktif atau dengan kata lain terwujud ketahanan pangan
.
Sudah 33
tahun HPS diperingati, namun harapan terwujudnya ketahanan pangan belum juga
tercapai. Berbagai upaya telah dilakukan
untuk mewujudkan ketahanan pangan, namun fakta menunjukkan upaya tersebut belum
berhasil. Hal ini ditunjukkan dengan
masih banyaknya masalah kelaparan, ketidakmerataan ketersediaan pangan, gizi
buruk, masalah keamanan pangan dan lain sebagainya. Bahkan sejak tahun 2008 mulai banyak
diperbincangkan masalah krisis pangan dunia yang ditunjukkan dengan menurunnya
produksi pangan yang berakibat pada banyaknya masalah kelaparan (angka
kelaparan di dunia semakin meningkat dari 800 juta jiwa (1996) menjadi 853 juta
jiwa (2007)
dan ketidakstabilan harga pangan dunia. Menurut Bank
Dunia, harga pangan sejak Juli 2011 – Juli 2012 tercatat telah mengalami kenaikan
sebesar 6%. Oleh
karena itu penting untuk dikaji apa itu ketahanan pangan, permasalahannnya, dan
solusi Islam dalam mewujudkan ketahanan pangan.
Pengertian Ketahanan Pangan
Istilah ketahanan pangan (food security)
sebagai sebuah konsep kebijakan, muncul pertama pada tahun 1974, yakni ketika
dilaksanakannya konferensi pangan dunia.
Pendefinisian ketahanan pangan (food security) mengalami
perkembangan dan berbeda dalam tiap konteks, waktu dan tempat. 1st World Food Conference 1974, UN 1975
mendefinisikan ketahanan pangan sebagai "ketersediaan pangan dunia yang
cukup dalam segala waktu untuk menjaga keberlanjutan konsumsi pangan dan
menyeimbangkan fluktuasi produksi dan harga.
Menurut " World Bank 1996: Ketahanan pangan adalah "akses
oleh semua orang pada segala waktu atas pangan yang cukup untuk kehidupan yang
sehat dan aktif. Indonesia – UU
No.7/1996: Ketahanan Pangan adalah :”Kondisi di mana terjadinya kecukupan
penyediaan pangan bagi rumah tangga yang diukur dari ketercukupan pangan dalam
hal jumlah dan kualitas dan juga adanya jaminan atas keamanan (safety), distribusi yang merata dan kemampuan
membeli. Ketahanan Pangan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No
68 Tahun 2002 adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah
tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah
maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. UU No. 18 Tahun 2012
tentang Pangan, Ketahanan Pangan adalah
kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang
tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman,
beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama,
keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif
secara berkelanjutan.
Berdasarkan
definisi tersebut ruang lingkup ketahanan pangan berkembang menurut
perkembangan definisinya. Pada awalnya
ketahanan pangan hanya dilihat dari ketersediaan pangan di tingkat wilayah yang dianggap mampu mencukupi kebutuhan konsumsi
penduduk. Namun kenyataan menunjukkan
bahwa ketahanan pangan di tingkat wilayah tidak menjamin terwujudnya ketahanan
pangan di tingkat rumah tangga ataupun i
ndividu. Oleh karena itu definisinya pun berubah
sehingga aspek-aspeknya meliputi : Cukup:
pangan tersedia cukup baik dari segi jumlah maupun mutunya serta keragamannya,
sehingga terpenuhi kebutuhan akan gizi untuk hidup sehat dan produktif; Aman:
bebas dari cemaran biologi, kimia, benda lain yang menganggu, merugikan dan
membahayakan kesehatan serta aman dari kaidah agama; Merata: pangan harus
tersedia setiap saat dan merata pada lokasi yang membutuhkan di seluruh Indonesia,
dan Terjangkau: secara fisik pangan mudah
diperoleh setiap waktu oleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau.
Permasalahan
Ketahanan Pangan Indonesia
Cakupan aspek-aspek dalam
definisi ketahanan pangan, menunjukkan bahwa ketahanan pangan merupakan hasil
interaksi dari berbagai subsistem yang saling bereaksi yang mencakup subsistem ketersediaan, distribusi, dan konsumsi
pangan. Subsistem ketersediaan
pangan dipengaruhi oleh produksi, cadangan pangan, ekspor, dan impor. Subsistem distribusi akan menentukan akses
masyarakat terhadap pangan. Distribusi ditentukan oleh sarana pra sarana
untuk distribusi yang akan menjamin pangan tersedia secara fisik di masyarakat,
dan juga ditentukan oleh kemampuan masyarakat secara ekonomi untuk mengakses
pangan. Pangan yang tersedia di
mayarakat tidak dapat terdistribusi ke rumah tangga atau individu apabila tidak
memiliki pendapatan untuk membeli pangan.
Ketahanan pangan dari aspek konsumsi dapat dilihat dari keadaan
pemanfaatan pangan dan situasi gizi masyarakat. Subsistem konsumsi
dipengaruhi oleh ketersediaan pangan di
rumah, pengetahuan tentang pangan, dan kondisi kesehatan yang mempengaruhi
penyerapan pangan.
Permasalahan ketahanan pangan di
Indonesia dilihat dari aspek-aspek tersebut, dapat diuraikan sebagai berikut.
Ketersediaan Pangan
- Pada tahun 2010-2012 produksi padi dan jagung meningkat dengan rata-rata pertumbuhan 4,87%. Sedangkan produksi kacang kedelai menurun degan rata-rata penurunan 8%. Pada umumnya daerah di Indonesia merupakan daerah swasembada/surplus pangan dalam hal produksi serealia, dan ketersediaan pangan pada tingkat nasional memadai. Namun demikian, beberapa kabupaten di provinsi Papua dan provinsi Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Kalimantan Tengah, sebagian provinsi Maluku dan Maluku Utara mengalami kekurangan serealia.
- Meskipun secara nasional ketersediaan pangan memadai, namun impor pangan juga tinggi. Apabila dibandingkan data perdagangan pangan periode 2009/2010 dengan periode 2010/2011, terjadi peningkatan luar biasa impor pangan. Impor beras meningkat 141 persen, jagung 89 persen, dan kedelai 19 persen (USDA, Desember 2011). Impor gandum yang tahun sebelumnya sudah menembus angka di atas 5 juta ton, pada periode 2010/2011 mencapai 6,6 juta ton atau peningkatan sebesar 23 persen. Total impor biji-bijian, termasuk tepung, untuk periode 2010/2011 mencapai 17,2 juta ton, suatu angka impor yang fantastis. Bukan hanya berbagai ”pangan pokok”, impor buah-buah seperti apel, anggur, pir, dan jeruk pada 2010/2011 meningkat masing-masing sebesar 37, 39, 44, dan 19 persen dibandingkan dengan periode tahun sebelumnya.
Distribusi Pangan
- Permasalahan akses pangan secara fisik ditunjukkan dengan tidak adanya pangan di masyarakat akibat kelangkaan ataupun tidak adanya sarana untuk menyediakan pangan di masyarakat salah satunya karena tidak ada akses jalan. Lebih dari 12% dari semua desa di Indonesia tidak memiliki akses jalan yang dapat dilalui oleh kendaraan roda empat.
- Selain akses secara fisik, tidak adanya akses ekonomi menjadikan pangan tidak dapat terdistribusi secara merata. Banyaknya penduduk miskin merupakan masalah akses pangan secara ekonomi. Kemiskinan menjadikan orang memiliki daya beli yang rendah yang pada akhirnya mengakibatkan tidak mampu menyediakan pangan yang cukup. . Pada tahun 2008, terdapat 34,96 juta orang (15,42%) hidup di bawah garis kemiskinan nasional (US$ 1,55). Pada tahun 2009, 2010, 2011, dengan garis kemiskinan sebesar Rp 200.262,-, Rp 211.726,- dan 233.740,- per orang per bulan, jumlah penduduk miskin Indonesia berturut-turut sebesar 32,53 juta (14,15%), 31,023 juta (13,33%), dan 30,02 juta (12,49%).
- Di Wonogiri, pada musim kemarau banyak rumah tangga miskin yang tidak mengonsumsi beras mampu membeli beras meskipun per Juli 2013 Kabupaten Wonogiri surplus beras sebesar 180.317 ton karena uangnya digunakan untuk membeli air untuk minum keluarga dan ternaknya. (Solopos, 18 September 2013).
- Kasus Tiwul beracun di Jepara juga menunjukkan adanya keterbatasan penduduk miskin dalam mengakses pangan.
- Distribusi yang tidak merata juga tampak dari terjadinya fluktuasi harga pangan yang sering terjadi akhir-akhir ini, mulai dari kenaikan harga bawang merah, bawang putih, cabe, dan kedelai.
Konsumsi
- Pada tahun 2007, rata-rata asupan energi harian adalah 2.050 kkal dan asupan protein sebesar 56,25 gram, keduanya sudah melampaui Angka Kecukupan Gizi (AKG) nasional. Pada tahun 2012 rata-rata konsumsi energy sebesar 1.852,64 kkal/kapita/hari (92% AKE) dan protein sebesar 53,14 gram per orang per hari. Pada rumah tangga berpendapatan rendah knsumsinya kurang dari rata-rata nasional bahkan ada yang deficit energy (konsumsi energy kurang dari 70% Angka Kecukupan Energi).
- Secara nasional, 21,08% rumah tangga tidak memiliki akses terhadap air minum yang layak. Akses terendah terdapat di provinsi Kalimantan Barat, Papua Barat, Lampung dan Kalimantan Tengah.
- Pada tahun 2007, angka underweight pada balita (gabungan dari kurang gizi kronis dan akut) nasional adalah 18,4% dan pada tahun 2010 sebesar 17,9%. 45 Kabupaten dari 346 kabupaten mempunyai prevalensi underweight sangat tinggi (≥ 30%). Tingkat prevalensi underweight tertinggi terdapat di provinsi NTT, Maluku, Kalimantan Selatan, NAD, Sulawesi Barat dan Gorontalo.
- Prevalensi nasional untuk kurang gizi kronis (stunting) adalah 36,8%, angka ini tergolong tinggi untuk tingkatan kesehatan masyarakat. Secara nasional, 12 provinsi memiliki prevalensi yang sangat tinggi ((≥ 40%) dan 17 provinsi lainnya memiliki prevalensi yang tinggi (30-39%). Pada tingkat kabupaten, 167 dari 346 kabupaten memiliki prevalensi stunting yang sangat tinggi. Tingkat prevalensi stunting tertinggi terdapat di provinsi NTT, Maluku, Sumatera Selatan, NAD, Sulawesi Barat dan NTB. Secara global, wilayah Indonesia Bagian Timur memiliki angka kurang gizi lebih tinggi.
Penyebab Masalah Ketahanan Pangan
Secara teknis ada beberapa
hal yang menyebabkan produksi pangan stagnan atau bahkan menurun seperti
perubahan iklim, dan rusak atau berkurangnya sarana irigasi (hanya 10 persen air
irigasi yang bisa dikendalikan, 50 persen jaringan irigasi strategis nasional
di Pulau Jawa rusak, dan 27 persen seluruh jaringan irigasi nasional perlu
rehabilitasi ringan hingga berat (DA Santosa, ”Waspadai Pangan 2012”, Kompas,
11 November 2011). Keterbatasan lahan pertanian merupakan
persoalan besar lainnya. Dengan luas lahan pertanian pangan yang hanya 358
meter persegi per kapita untuk sawah atau 451 meter persegi jika digabungkan
dengan lahan kering, upaya dan terobosan apa pun untuk peningkatan produksi
akan mengalami jalan buntu. Kondisi tersebut diperparah dengan adanya konversi
lahan pertanian ke non-pertanian. Angkanya 100.000 hingga 110.000 hektar per
tahun. Padahal, lahan-lahan pertanian itu sebetulnya sudah ”dilindungi” oleh
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan. Di sisi lain masih banyak lahan tidur yang belum
dimanfaatkan. Teknologi peningkatan produksi
juga masih terbatas.
Masalah pengangguran, kemiskinan,
fluktuasi harga pangan, dan tidak memadainya sarana prasarana distribusi pangan
mengakibatkan masyarakat tidak mampu menyediakan dan mengkonsumsi pangan yang
dibutuhkan. Pelayanan kesehatan dan
sarana hidup sehat (air bersih, rumah sehat) yang kurang(atau ada tetapi mahal) berdampak pada kondisi gizi dan kesehatan
yang rendah.
Lebih dari itu, penyebab utama
masalah ketahanan pangan adalah penerapan system ekonomi kapitalis di
Indonesia. Sistem ini menghendaki tidak
adanya (sedikitnya) campur tangan pemerintah dalam pengaturan urusan rakyat
termasuk masalah pangan. Kebiijakan-kebijakan yang ditetapkan pemerintah justru
merugikan rakyat dan bahkan memperparah masalah ketahanan pangan. Beberapa kebijakan seperti privatisasi, liberalisasi, deregulasi, dan
subtitusi energi biofuel, sebagai inti dari Konsesus Washington kontraproduktif
dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan untuk meningkatkan ketahanan pangan
seperti kebijakan peningkatan produksi, peningkatan pendapatan masyarakat
khususnya petani, maupun kebijakan stabilisasi harga pangan.
Henry
Saragih (Ketua UmumSerikat Petani Indonesia), menyebutkan bahwa Bulog telah
diprivatisasi sehingga beralih fungsi sebagai penyangga pangan sekaligus
mencari keuntungan. Padahal semestinya Bulog mewakili pemerintah berperan
sebagai penjamin ketersediaan pangan sekaligus menyokong kesejahteraan petani.
Artinya Bulog dapat menyerap seluruh hasil panen raya petani dengan harga yang
pantas, serta mendistribusikan kepada seluruh rakyat dengan harga yang murah.
Jika ketersediaan pangan betul-betul kurang, barulah mengimpor sebatas
kebutuhan. Industri hilir pangan hingga distribusi (ekspor-impor) dikuasai oleh
perusahaan seperti Cargill dan Charoen Phokpand. Privatisasi ini pun berdampak
serius, sehingga berpotensi besar dikuasainya sektor pangan hanya oleh pemegang
monopoli atau oligopoli (kartel) seperti yang sudah terjadi saat ini.
Hal tersebut
didukung oleh beberapa regulasi yang berpihak kepada perusahaan besar dan mengalahkan pertanian rakyat. Seperti
contoh UU No. 1/1967 tentang PMA, UU No. 4/2004 tentang Sumber Daya Air,
Perpres 36 dan 65/2006, UU No. 18/2003 Tentang Perkebunan, dan yang termutakhir
UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal. Dengan kemudahan regulasi ini, upaya
privatisasi menuju monopoli atau kartel di sektor pangan semakin terbuka. Hal
itu mengkondisikan rantai distribusi pangan akan sangat bergantung pada
pemegang hak monopoli ataupun kartel. Rantai distribusi menjadi panjang karena
pemegang monopoli dan kartel tidak melempar barang langsung ke konsumen, tetapi
melalui rantai kartel yang mereka ciptakan. Pada
gilirannya harga barang menjadi semakin mahal karena ditambah dengan biaya
transportasi dan sering
terjadi fluktuasi harga karena dipermainkan oleh pelaku monopoli yang menguasai
pasar.
Kebijakan dan praktek yang
menyerahkan urusan pangan kepada pasar bebas (1998, Letter of Intent IMF),
serta mekanisme perdagangan pertanian yang ditentukan oleh perdagangan bebas
(1995, Agreement on Agriculture, WTO) merupakan upaya liberalisasi urusan
pangan. Akses pasar Indonesia dibuka lebar-lebar, bahkan hingga tariff impor 0
% seperti kedelai (1998, 2008) dan beras (1998). Sementara subsidi domestik
untuk petani terus berkurang (tanah, irigasi, pupuk, bibit, teknologi dan
insentif harga). Di sisi lain, subsidi ekspor dari negara-negara overproduksi
pangan seperti AS dan Uni Eropa—beserta perusahaan-perusahaannya—malah
meningkat. Indonesia pun dibanjiri barang pangan murah, sehingga pasar dan
harga domestik hancur (1995 hingga
kini).
Pencabutan subsidi pupuk, menjadikan kebijakan intensifikasi pertanian
terhambat dan petani kehilangan gairah untuk meningkatkan produksi
pertaniannya, disebabkan biaya produksi yang sangat mahal. Tidak
ada kebijakan pembaruan agraria yaitu membagikan tanah kepada rakyat sehingga
peningkatan produksi melalui ekstensifikasi sulit dilakukan. Pemerintah sibuk
mengkapling-kapling tanah untuk perusahaan-perusahaan perkebunan. Saat
ini kebanyakan lahan-lahan perkebunan sudah dikelola oleh perusahaan-perusahaan
besar, bukan keluarga petani. Di sisi lain para petani membutuhkan lahan untuk
meningkatkan produktivitasnya. Kepemilikan lahan petani yang hanya berkisar 0,3
hektar, jauh dari mencukupi untuk melakukan produksi yang efektif.
Permasalahan ketahanan pangan yang muncul bukan persoalan produksi
pangan semata. Ketahanan pangan
merupakan masalah multidimensional. Dari
berbagai indikator itu, maka ketahanan pangan mencakup masalah pertanian,
perdagangan, pendidikan, tenaga kerja, kesehatan, sarana dan prasarana fisik. Oleh karena itu penyelesaian masalah ketahanan
pangan harus bersifat multidimensional dan didukung oleh sistem yang kuat dan
kebijakan yang tidak saling kontraproduktif.
Politik Ekonomi Islam Menjamin Terwujudnya
Ketahanan Pangan
Islam sebagai ideologi
yang sempurna memiliki aturan yang mengatur kehidupan manusia secara menyeluruh
baik dalam hubungannya dengan Allah SWT (masalah aqidah dan ibadah), dengan
dirinya (makanan, pakaian, akhlak) dan dengan sesamanya (masalah muamalah dan
uqubat). Berkaitan dengan ketahanan
pangan, jauh sebelum PBB menetapkan Hari Pangan Sedunia dan mendefinisikan
serta menetapkan ketahanan pangan sebagai kebijakan yang harus dilaksanakan
oleh setiap negara, Islam sudah menetapkan keharusan pemenuhan kebutuhan pangan
setiap orang. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT dan sabda
Rasulullah SAW berikut:
”Dan kewajiban ayah memberi makan dan
pakaian kepada para ibu”(QS Al Baqarah:233)
”Dan hak para isteri agar kalian (para suami)
berbuat baik kepada para isteri dengan memberi mereka pakaian dan makanan”(HR
IBNU MAJAH)
“Siapa pun penduduk suatu masyarakat, di
mana di antara mereka terdapat seseorang yang kelaparan maka telah lepas dari
mereka jaminan Allah SWT”(HR Imam Ahmad)
Pada saat Islam diimplementasikan dalam kehidupan bernegara dalam bingkai
Daulah Khilafah, jaminan terpenuhinya pangan setiap orang untuk hidup sehat dan
produktif atau dengan kata lain terwujudnya ketahanan pangan lebih kokoh dengan
adanya system dan politik ekonomi Islam yang diterapkan oleh negara.
Sistem ekonomi merupakan pengaturan yang berkaitan dengan kepemilikan
(kekayaan), pengelolaan kepemilikan, dan distribusi kepemilikan di antara
manusia. Sistem ekonomi Islam menjamin kekayaan dikelola dengan baik dan
terdistribusi dengan merata sehingga terwujud kesejahteraan setiap orang.
Politik
ekonomi adalah tujuan yang ingin dicapai
dari pelaksanaan berbagai kebijakan untuk mengatur dan menyelesaikan berbagai
masalah kehidupan manusia dalam bidang ekonomi. Politik Ekonomi Islam adalah penerapan berbagai hukum/kebijakan yang
dilaksanakan oleh negara untuk menjamin tercapainya pemenuhan semua kebutuhan
pokok setiap individu masyarakat secara keseluruhan disertai jaminan yang
memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan pelengkap(sekunder dan
tersier) sesuai dengan kemampuan mereka sebagai individu yang hidup dalam
masyarakat dengan gaya hidup tertentu.
Politik ekonomi Islam ini bermakna bahwa (1) Islam memandang tiap orang sebagai manusia yang
harus dipenuhi kebutuhan primernya secara menyeluruh sehingga politik ekonomi
Islam tidak hanya mengejar peningkatan taraf hidup dalam suatu negara tanpa
memperhatikan terjamin tidaknya tiap orang untuk menikmati kehidupan tersebut
(2) Islam memandang individu dengan kapasitas pribadinya yang memungkinkan
memenuhi kebutuhan pelengkap sesuai dengan kesanggupannya (3) Islam memandang
bahwa setiap orang terikat dengan sesamanya sehingga tidak hanya mengupayakan
kemakmuran individu dengan membiarkan mereka sebebas-bebasnya memperoleh
kemakmuran tanpa memperhatikan terjamin tidaknya hak hidup orang lain.
Dalam rangka mencapai
tujuan tersebut, maka garis besar pengaturan dalam politik ekonomi Islam
mencakup garis-garis besar hukum/aturan yang terkait dengan sumber-sumber ekonomi dan garis-garis besar hukum/aturan yang
terkait dengan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok. Dalam pandangan Islam, sumber-sumber ekonomi
meliputi pertanian,
industri, perdagangan, dan tenaga manusia (jasa). Islam memberikan garis-garis besar
aturan/hukum terkait dengan 4 hal tersebut misalnya hukum tentang pertanahan
(metode kepemilikan dan pengelolaannya), perindustrian (status hukum industri
menurut apa yang diproduksi), perdagangan (penerapan hukum jual beli untuk
perdagangan dalam negeri dan aturan terkait dengan perdagangan luar negeri, dan
perburuhan (pijakan penetapan upah).
Berkaitan
dengan garis-garis besar hukum/aturan jaminan kebutuhan pokok, Islam menjelaskan tentang cakupan
kebutuhan pokok dan strategi pemenihannya.
Kebutuhan pokok dalam pandangan Islam yang ditetapkan berdasarkan
alqur’an dan sunah mencakup kebutuhan pokok individu dan kebutuhan pokok masyarakat. Kebutuhan pokok individu meliputi pangan,
sandang, dan tempat tinggal (QS Al Baqarah:233, QS.at-Thalaq:6). Sedangkan kebutuhan pokok masyarakat mencakup
kesehatan dan keamanan (”Siapa saja yang ketika memasuki pagi hari
mendapati keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki bahan makanan hari
itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya”(HR Bukhori, Tirmidzi, Ibnu
Majah); ”Ingat!
Bahwasannya darah dan harta benda kalian haram bagi kalian” ; ”Diantara tanda-tanda
(datangnya hari) kiamat adalah menghilangnya ilmu dan menyebarnya kebodohan”(HR
Bukhori, Muslim,Ahmad))
Strategi pemenuhan kebutuhan pokok
individu meliputi: (1) Islam mewajibkan laki-laki yang mampu menafkahi tanggungannya(QS.2:233,
QS at-Thalaq:6,8); (2) Negara menyediakan berbagai fasilitas
pekerjaan agar setiap orang yang mampu bekerja dapat memperoleh pekerjaan; (3)
Apabila kepala keluarga tidak ada atau tidak mampu memberi nafkah kepada orang
yang menjadi tanggungannya, maka kewajiban nafkah beralih ke kerabat dekat. “mulailah memberi nafkah
itu dari orang yang menjadi tanggunganmu: ibumu, ayahmu, saudara perempuanmu,
saudara laki-lakimu, kemudian famili terdekatmu “(HR Nasa’i); (4) Tetangga
terdekat wajib memenuhi sementara kebutuhan pokok(pangan) tetangga yang
kelaparan “tidak beriman orang yang tetap kekenyangan, sedangkan tetangga
sampingnya kelaparan, sementara dia mengetahuinya.”(HR Al Bazzar); (5) Negara secara
langsung memenuhi kebutuhan pokok
individu bagi yang tidak mampu dan membutuhkan.
Sedangkan strategi
pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat Islam menetapkan
pemenuhan kebutuhan primer masyarakat kepada negara (”Seorang (pemimpin) adalah bagaikan penggembala dan dia akan
dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya(rakyatnya)”(HR Bukhari)). Jaminan kesehatan dilakukan yang Rasulullah
mendapat hadiah dokter dari Mauquqis, Raja Mesir dan oleh Rasulullah dijadikan
dokter umum bagi seluruh rakyat dan Rasulullah membangun tempat pengobatan umum dan membiayainya dari
baitul mal. Dalam menjamin pendidikan Rasulullah menetapkan kebijakan terhadap
para tawanan perang badar bahwa mereka dapat bebas dengan mengajarkan baca
tulis 10 orang penduduk Madinah, Khalifah Umar bin Khatab menggaji guru
anak-anak sebesar 15 dinar setiap bulan (1 dinar=4,25 gram emas murni), Khalifah
Al-Muntashir membangun Madrasah Mustansiriah di Baghdad, setiap siswa menerima
beasiswa satu dinar (4,25 gram emas)tiap hari, makan dan sarana perpustakaan
lengkap dengan ruang diskusi, kertas dan tinta , dan disediakan perpustakaan
umum: darul Hikmah di Kairo dengan puluhan ribu buku, ruang diskusi, dan
fasilitas lain untuk pengembangan ilmu.
Sedangkan mekanisme menjamin keamanan dengan menerapkan hudud(hukum
pidana) yang tegas kepada siapa saja yang mengganggu keamanan jiwa, harta, dan
darah.
Penerapan politik ekonomi
Islam akan menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok baik individu maupun
masyarakat. Oleh karena itu permasalahan
ketahanan pangan yang terkait dengan kelemahan masyarakat terhadap akses pangan
karena kemiskinan dan kelemahan ketahanan pangan karena masalah kesehatan
akan teratasi dengan mekanisme
tersebut. Lebih dari itu ketahanan
pangan semakin kokoh dengan penerapan politik pertanian Islam yang menjamin
produksi dan perdagangan pangan berjalan dengan optimal sehingga pangan
tersedia dengan harga terjangkau yang menyebabkan kebutuhan pangan terpenuhi dengan baik.
Politik
Pertanian dalam Islam
Islam sebagai sebuah ideologi telah menjadikan
bahwa pertanian adalah bagian integral dari persoalan manusia yang harus
dipecahkan dan diatur dengan sebaik-baiknya sebagaimana sektor lainnya. Untuk itulah Islam ketika membahas pertanian maka ia
dibahas sebagai bagian integral dari dari berbagai bidang kehidupan lainnya.
Dan yang lebih penting lagi bahwa pembahasan Islam tentang politik pertanian
diarahkan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pokok manusia dan upaya mereka untuk
meningkatkan kesejahteraan.
Politik pertanian mencakup pengaturan di
bidang produksi, pengolahan hasil, perdagangan hasil pertanian pertanian . Kebijakan di bidang produksi bertujuan untuk peningkatan
produksi untuk menjamin ketersediaan pangan.
Strategi peningkatan produksi diarahkan untuk meningkatkan produksi bahan makanan
karena bahan makanan merupakan kebutuhan
pokok masyarakat, meningkatkan produksi bahan-bahan yang diperlukan untuk
membuat pakaian seperti kapas, wool, pohon rami dan sutra, dan meningkatkan
komoditi-komoditi yang memiliki potensi pasar luar negeri yang menguntungkan.
Program peningkatan produksi dilakukan dengan
intensifikasi dan ekstensifikasi.
Program intensifikasi yaitu penggunaan sarana produksi yang baik seperti
bibit unggul, obat-obatan, teknologi, bantuan modal. Dalam hal ini negara akan memberikan bantuan
sarana produksi tersebut dengan harga murah atau bahkan gratis. Program
ekstensifikasi dilaksanakan melalui hukum-hukum yang terkait dengan pertanahan yaitu (1) Negara mendorong rakyat untuk menghidupkan tanah mati (“Siapa saja yang telah
menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu adalah hak
miliknya.” (HR. Imam Bukhari), (2) Negara memberikan tanah secara cuma-cuma kepada orang yang mampu
dan mau bertani tetapi tidak memiliki lahan,(3)Negara memaksa orang yang
memiliki lahan untuk mengolahnya kalau selama 3 tahun ditelantarkan maka akan
diberikan kepada orang yang mau mengolahnya (Rasulullah saw. bersabda: “Siapa
yang mempunyai sebidang tanah, hendaknya dia menanaminya, atau hendaknya
diberikan kepada saudaranya. Apabila dia mengabaikannya, maka hendaknya
tanahnya diambil” (HR. Imam Bukhari) dan “Umar mengatakan: ‘Siapa saja yang mengabaikan tanah selama
tiga tahun, yang tidak dia kelola, lalu ada orang lain mengelolanya, maka tanah
tersebut adalah miliknya.”), dan (4) Larangan menyewakan lahan pertanian (“Rasulullah saw. melarang
menyewakan tanah. Kami bertanya: Wahai Rasulullah, kalau begitu kami akan menyewakannya
dengan bibit. Beliau menjawab: ‘Jangan. ‘Bertanya (sahabat): ‘Kami akan
menyewakannya dengan jerami. Beliau menjawab: “Jangan.” Bertanya (sahabat):
‘Kami akan menyewakannya dengan sesuatu yang ada di atas rabi. Beliau menjawab:
“Jangan. Kamu tanami atau kamu berikan tanah itu kepada saudaramu.” (HR.
Imam Nasa’i)).
Program intensifikasi dalam politik pertanian
islam akan memungkinkan produksi pertanian berjalan dengan optimal karena
petani tidak kesulitan berproduksi akibat tidak ada modal karena ada bantuan
negara untuk mengusahakan pertaniannya. Program
ekstensifikasi dalam politik pertanian islam memungkinkan tanah pertanian
termanfaatkan dan tidak ada masalah kesenjangan kepemilikan lahan antara petani
kaya dan miskin. Hal ini memungkinkan
terjadinya pemerataan pendapatan dan terpenuhinya kebutuhan pangan secara
merata.
Dalam rangka menganekaragamkan pangan, negara
akan mendorong perkembangan industry pengolahan pangan dengan program antara
lain mengatur jenis komoditi apa saja yang boleh atau tidak boleh dibuat
sehingga akan tercipta produk makanan yang halal dan sehat (memperhatikan
keamannnya), menyediakan sarana dan
prasarana yang mendukung tumbuhnya industri pertanian secara memadai (bahan
baku, transportasi, teknologi, pasar), dan menyediakan lembaga-lembaga pendukung lainnya (lembaga penyuluhan
pertanian, lembaga penelitian).
Pemasaran produk pertanian tidak akan dilepas
dalam pasar bebas tanpa kendali negara.
Dalam perdagangan hasil pertanian, negara melakukan berbagai kebijakan
yang dapat menjamin terciptanya mekanisme pasar secara transparan, tidak ada
manipulasi, tidak ada intervensi yang dapat menyebabkan distorsi ekonomi serta
tidak ada penimbunan yang dapat menyebabkan kesusahan bagi masyarakat. Kebijakan yang
ditempuh dalam perdagangan antara lain:
Negara menyediakan berbagai prasarana jalan,
pasar dan sarana transportasi yang dapat mengangkut hasil pertanian dan hasil
industri pertanian secara cepat dan dengan harga murah.
Negara menjamin agar
mekanisme harga komoditi pertanian dan harga komoditi hasil industri pertanian
dapat berjalan secara transparan dan tanpa ada manipulasi (“Rasulullah
saw telah melarang melakukan penghadangan terhadap para pedagang”
(HR. Bukhari-Muslim), “Janganlah
kalian hadang kafilah-kafilah (orang-orang yang berkendaraan) dan janganlah
orang yang hadir (orang di kota) menjualkan barang milik orang desa.” (HR
Bukhari-Muslim) .Larangan Rasulullah saw terhadap aktivitas ini, agar
harga yang berlaku benar-benar transparan dan tidak ada yang memanfaatkan ketidaktahuan
satu pihak –baik penjual maupun pembeli—. Dengan demikian harga yang
berlaku adalah harga pasar yang sebenarnya.
Negara
membuat kebijakan yang dapat menjamin terciptanya harga yang wajar
berdasarkan mekanisme pasar yang berlaku. Islam melarang
negara mempergunakan otoritasnya untuk menetapkan harga baik harga maksimum
maupun harga dasar. (“Suatu ketika orang-orang berseru kepada Rasulullah
saw. menyangkut penetapan harga, “Wahai Rasulullah saw. harga-harga naik,
tentukanlah harga untuk kami.” Rasulullah lalu menjawab : “Allahlah yang
sesungguhnya Penentu harga, Penahan, Pembentang dan Pemberi rizki. Aku berharap
agar bertemu kepada Allah tidak ada seorangpun yang meminta kepadaku tentang
adanya kezaliman dalam urusan darah dan harta.” (HR. Ashabus Sunan). Negara
boleh melakukan operasi pasar agar pasar berjalan normal.
Pemerintah harus dapat mencegah terjadinya berbagai penipuan yang
sering terjadi dalam perdagangan baik penipuan yang dilakukan oleh penjual
maupun yang dilakukan oleh pembeli. Penipuan dilakukan oleh penjual dengan
jalan mereka menyembunyikan cacat barang dagangan dari pembeli (“Tidak halal
bagi seseorang yang menjual sesuatu, melainkan hendaklah dia menerangkan
(cacat) yang ada pada barang tersebut.” (HR. Ahmad)).
Negara mencegah berbagai tindakan penimbunan produk-produk pertanian
dan kebutuhan pokok lainnya. Penimbunan adalah orang yang mengumpulkan
barang-barang dengan menunggu waktu naiknya harga barang-barang tersebut,
sehingga dia bisa menjualnya dengan harga yang tinggi, sementara masyarakat
mengalami kesulitan untuk menjangkau harganya (“Tidak akan menimbun (barang)
kecuali orang yang berdosa” (HR. Muslim), “Sejelek-jelek manusia
adalah orang yang suka menimbun, jika mendengar harga murah dia merasa kecewa,
dan jika mendengar harga naik dia merasa gembira.” (HR. Ibnu
Majah dan Hakim))
Pengaturan perdagangan hasil pertanian ini
memungkinkan harga pangan akan stabil dan produsen serta konsumen mendapatkan harga
yang sesuai dengan keridloan masing-masing.
Dari sisi produsen hal ini akan mendorong untuk meningkatkan produksi
dan dari sisi konsumen akan dapat membeli pangan dengan kualitas baik dan harga
terjangkau.
Demikianlah penerapan politik ekonomi Islam dalam
bingkai negara khilafah akan mampu menjamin terwujudnya ketahanan pangan tidak
hanya di tingkat wilayah atau rumah tangga tetapi sampai tingkat individu,
karena politik ekonomi Islam sejak awal sudah menetapkan jaminan terpenuhinya kebutuhan pokok setiap individu. Dunia baru memperhatikan ketahanan pangan
sampai tingkat individu pada tahun 1990-an dan di Indonesia ketahanan pangan
sampai tingkat individu baru dirumuskan pada UU no 18 Tahun 2012. Sudah selayaknya setiap muslim yakin kepada
Islam dan kembali dalam menerapkannya secara menyeluruh dalam kehidupan
sehingga akan memperoleh kesejahteraan dunia dan akhirat. Wallahu a’lam.
Rujukan:
Abdurrahman Al Maliki. 2001. Politik Ekonomi Islam. Al Izzah
M. Reza Rosadi .
Serial Syariah: Politik Pertanian dalam Islam.
Taqiyudin An nabhani. 1996. Membangun
Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam. Risalah Gusti
Badan Pusat Statistik. 2012. Perkembangan
Beberapa Indikator Uata Sosial Ekonomi Indonesia, November 2012.
Solo Pos, Rabu 18 September 2013. Sudah 2 Pekan Lamiyem Hanya Makan Tiwul.
World Food Program.
Peta Ketahanan dan Kerawanan Pangan Indonesia 2009.
http://nasional.kompas.com/2012/02/11/03171781/
Membangun Kedaulatan Pang