Thursday, October 3, 2013

Politik Ekonomi Islam Menjamin terwujudnya Ketahanan Pangan


POLITIK EKONOMI ISLAM MENJAMIN TERWUJUDNYA KETAHANAN PANGAN

Oleh: Wahidah



Muqadimah

Pangan merupakan komoditas penting dan strategis karena pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang pemenuhannya menjadi hak dasar setiap manusia.  Kecukupan pangan menentukan kualitas sumberdaya manusia dan ketahanan bangsa. Oleh karena pentingnya pangan bagi manusia maka PBB-pun menetapkan adanya  Hari Pangan Sedunia (HPS).  HPS mulai dilaksanakan sejak Food and Agricultural Organization (FAO) menetapkan World Food Day melalui Resolusi PBB no 1/1979 dan sejak 1981 seluruh negara anggota FAO termasuk Indonesia memperingati HPS pada tanggal 16 Oktober. 
Pelaksanaan HPS dimaksudkan sebagai media untuk meningkatkan pemahaman, kepedulian, dan menggalang kerjasama dengan pihak-pihak terkait dalam sinergi menangani masalah pangan yang sedang aktual serta mengingatkan kembali bahwa perwujudan ketahanan pangan adalah tanggung jawab bersama yang harus dilaksanakan bagi keberlanjutan peradaban manusia.  Tema yang diambil berbeda setiap tahun sesuai dengan perkembangan masalah pangan. Hari Pangan Sedunia ke-33 tahun 2013 ini bertema  Suistainable Food System for  Food Security and Nutrition dan Indonesia mengambil tema Optimalisasi Sumberdaya Lokal menuju Kemandirian Pangan.  Tema-tema tersebut merupakan komitmen sekaligus harapan yang ingin diwujudkan oleh dunia dan setiap negara yaitu terpenuhinya kebutuhan pangan penduduk untuk dapat hidup sehat dan produktif atau dengan kata lain terwujud ketahanan pangan . 
Sudah 33 tahun HPS diperingati, namun harapan terwujudnya ketahanan pangan belum juga tercapai.  Berbagai upaya telah dilakukan untuk mewujudkan ketahanan pangan, namun fakta menunjukkan upaya tersebut belum berhasil.   Hal ini ditunjukkan dengan masih banyaknya masalah kelaparan, ketidakmerataan ketersediaan pangan, gizi buruk, masalah keamanan pangan dan lain sebagainya.  Bahkan sejak tahun 2008 mulai banyak diperbincangkan masalah krisis pangan dunia yang ditunjukkan dengan menurunnya produksi pangan yang berakibat pada banyaknya masalah kelaparan (angka kelaparan di dunia semakin meningkat dari 800 juta jiwa (1996) menjadi 853 juta jiwa (2007) dan ketidakstabilan harga pangan dunia. Menurut Bank Dunia, harga pangan sejak Juli 2011 – Juli 2012 tercatat telah mengalami kenaikan sebesar 6%.  Oleh karena itu penting untuk dikaji apa itu ketahanan pangan, permasalahannnya, dan solusi Islam dalam mewujudkan ketahanan pangan.

Pengertian Ketahanan Pangan
 Istilah ketahanan pangan (food security) sebagai sebuah konsep kebijakan, muncul pertama pada tahun 1974, yakni ketika dilaksanakannya konferensi pangan dunia.  Pendefinisian ketahanan pangan (food security) mengalami perkembangan dan berbeda dalam tiap konteks, waktu dan tempat.  1st World Food Conference 1974, UN 1975 mendefinisikan ketahanan pangan sebagai "ketersediaan pangan dunia yang cukup dalam segala waktu untuk menjaga keberlanjutan konsumsi pangan dan menyeimbangkan fluktuasi produksi dan harga.  Menurut " World Bank 1996: Ketahanan pangan adalah "akses oleh semua orang pada segala waktu atas pangan yang cukup untuk kehidupan yang sehat dan aktif.  Indonesia – UU No.7/1996: Ketahanan Pangan adalah :”Kondisi di mana terjadinya kecukupan penyediaan pangan bagi rumah tangga yang diukur dari ketercukupan pangan dalam hal jumlah dan kualitas dan juga adanya jaminan atas keamanan (safety), distribusi yang merata dan kemampuan membeli.  Ketahanan Pangan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 68 Tahun 2002  adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.  UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
Berdasarkan definisi tersebut ruang lingkup ketahanan pangan berkembang menurut perkembangan definisinya.  Pada awalnya ketahanan pangan hanya dilihat dari ketersediaan pangan di tingkat wilayah  yang dianggap mampu mencukupi kebutuhan konsumsi penduduk.  Namun kenyataan menunjukkan bahwa ketahanan pangan di tingkat wilayah tidak menjamin terwujudnya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga ataupun i
ndividu.  Oleh karena itu definisinya pun berubah sehingga aspek-aspeknya meliputi : Cukup: pangan tersedia cukup baik dari segi jumlah maupun mutunya serta keragamannya, sehingga terpenuhi kebutuhan akan gizi untuk hidup sehat dan produktif;  Aman: bebas dari cemaran biologi, kimia, benda lain yang menganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan serta aman dari kaidah agama; Merata:  pangan harus tersedia setiap saat dan merata pada lokasi yang membutuhkan di seluruh Indonesia, dan  Terjangkau: secara fisik pangan mudah diperoleh setiap waktu oleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau.

Permasalahan Ketahanan Pangan Indonesia

Cakupan aspek-aspek dalam definisi ketahanan pangan, menunjukkan bahwa ketahanan pangan merupakan hasil interaksi dari berbagai subsistem yang saling bereaksi yang mencakup subsistem ketersediaan, distribusi, dan konsumsi pangan.  Subsistem ketersediaan pangan dipengaruhi oleh produksi, cadangan pangan, ekspor, dan impor.  Subsistem distribusi akan menentukan akses masyarakat terhadap pangan.   Distribusi ditentukan oleh sarana pra sarana untuk distribusi yang akan menjamin pangan tersedia secara fisik di masyarakat, dan juga ditentukan oleh kemampuan masyarakat secara ekonomi untuk mengakses pangan.  Pangan yang tersedia di mayarakat tidak dapat terdistribusi ke rumah tangga atau individu apabila tidak memiliki pendapatan untuk membeli pangan.  Ketahanan pangan dari aspek konsumsi dapat dilihat dari keadaan pemanfaatan pangan dan situasi gizi masyarakat. Subsistem konsumsi dipengaruhi  oleh ketersediaan pangan di rumah, pengetahuan tentang pangan, dan kondisi kesehatan yang mempengaruhi penyerapan pangan. 
Permasalahan ketahanan pangan di Indonesia dilihat dari aspek-aspek tersebut, dapat diuraikan sebagai berikut.

Ketersediaan Pangan
  • Pada tahun 2010-2012 produksi padi dan jagung meningkat dengan rata-rata pertumbuhan 4,87%. Sedangkan  produksi kacang kedelai menurun degan rata-rata penurunan 8%.  Pada umumnya daerah di Indonesia merupakan daerah swasembada/surplus pangan dalam hal produksi serealia, dan ketersediaan pangan pada tingkat nasional memadai.  Namun demikian, beberapa kabupaten di provinsi Papua dan provinsi Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Kalimantan Tengah, sebagian provinsi Maluku dan Maluku Utara mengalami kekurangan serealia.
  • Meskipun secara nasional ketersediaan  pangan memadai, namun impor pangan juga tinggi.  Apabila dibandingkan data perdagangan pangan periode 2009/2010 dengan periode 2010/2011, terjadi peningkatan luar biasa impor pangan. Impor beras meningkat 141 persen, jagung 89 persen, dan kedelai 19 persen (USDA, Desember 2011). Impor gandum yang tahun sebelumnya sudah menembus angka di atas 5 juta ton, pada periode 2010/2011  mencapai 6,6 juta ton atau peningkatan sebesar 23 persen. Total impor biji-bijian, termasuk tepung, untuk periode 2010/2011 mencapai 17,2 juta ton, suatu angka impor yang fantastis. Bukan hanya berbagai ”pangan pokok”, impor  buah-buah seperti  apel, anggur, pir, dan jeruk pada 2010/2011 meningkat masing-masing sebesar 37, 39, 44, dan 19 persen dibandingkan dengan periode tahun sebelumnya.

Distribusi Pangan
  • Permasalahan akses pangan secara fisik ditunjukkan dengan tidak adanya pangan di masyarakat akibat kelangkaan ataupun tidak adanya sarana untuk menyediakan pangan di masyarakat salah satunya karena tidak ada akses jalan. Lebih dari 12% dari semua desa di Indonesia tidak memiliki akses jalan  yang dapat dilalui oleh kendaraan roda empat. 
  • Selain akses secara fisik, tidak adanya akses ekonomi menjadikan pangan tidak dapat terdistribusi secara merata.  Banyaknya penduduk miskin merupakan masalah akses pangan secara ekonomi.  Kemiskinan menjadikan orang memiliki daya beli yang rendah yang pada akhirnya mengakibatkan tidak mampu menyediakan pangan yang cukup. . Pada tahun 2008, terdapat 34,96 juta orang (15,42%) hidup di bawah garis kemiskinan nasional (US$ 1,55). Pada tahun 2009, 2010, 2011, dengan garis kemiskinan sebesar Rp 200.262,-,  Rp 211.726,- dan 233.740,- per orang per bulan, jumlah penduduk miskin Indonesia  berturut-turut sebesar 32,53 juta (14,15%), 31,023 juta (13,33%), dan 30,02 juta (12,49%).
  • Di Wonogiri, pada musim kemarau  banyak rumah tangga miskin yang tidak mengonsumsi beras mampu membeli beras meskipun per Juli 2013 Kabupaten Wonogiri surplus beras sebesar 180.317 ton karena uangnya digunakan untuk membeli air untuk minum keluarga dan ternaknya. (Solopos, 18 September 2013).
  •  Kasus Tiwul beracun di Jepara juga menunjukkan adanya keterbatasan penduduk miskin dalam mengakses pangan.
  • Distribusi yang tidak merata juga tampak dari terjadinya fluktuasi harga pangan yang sering terjadi akhir-akhir ini, mulai dari kenaikan harga bawang merah, bawang putih, cabe, dan kedelai.

Konsumsi
  •  Pada tahun 2007, rata-rata asupan energi harian adalah 2.050 kkal dan asupan protein sebesar 56,25 gram, keduanya sudah melampaui Angka Kecukupan Gizi (AKG) nasional.  Pada tahun 2012 rata-rata konsumsi energy sebesar 1.852,64 kkal/kapita/hari (92% AKE)  dan protein sebesar 53,14 gram per orang per hari.  Pada rumah tangga berpendapatan rendah knsumsinya kurang dari rata-rata nasional bahkan ada yang deficit energy (konsumsi energy kurang dari 70% Angka Kecukupan Energi).
  • Secara nasional, 21,08% rumah tangga tidak memiliki akses terhadap air minum yang layak.  Akses terendah terdapat di provinsi Kalimantan Barat, Papua Barat, Lampung dan Kalimantan Tengah.
  • Pada tahun 2007, angka underweight pada balita (gabungan dari kurang gizi kronis dan akut) nasional adalah 18,4% dan pada tahun 2010 sebesar 17,9%.   45 Kabupaten dari 346 kabupaten mempunyai prevalensi underweight sangat tinggi (≥ 30%).  Tingkat prevalensi underweight tertinggi terdapat di provinsi NTT,  Maluku, Kalimantan Selatan, NAD, Sulawesi Barat dan Gorontalo. 
  • Prevalensi nasional untuk kurang gizi kronis (stunting) adalah 36,8%, angka ini tergolong tinggi untuk tingkatan kesehatan masyarakat. Secara nasional, 12 provinsi memiliki prevalensi yang sangat tinggi ((≥ 40%) dan 17 provinsi lainnya memiliki prevalensi yang tinggi (30-39%). Pada tingkat kabupaten, 167 dari 346 kabupaten memiliki prevalensi stunting yang sangat tinggi.  Tingkat prevalensi stunting tertinggi terdapat di provinsi  NTT, Maluku, Sumatera Selatan, NAD, Sulawesi Barat dan NTB.  Secara global, wilayah Indonesia Bagian Timur memiliki angka kurang gizi lebih tinggi.

Penyebab Masalah Ketahanan Pangan

Secara teknis ada beberapa hal yang menyebabkan produksi pangan stagnan atau bahkan menurun seperti perubahan iklim, dan rusak atau berkurangnya sarana irigasi (hanya 10 persen air irigasi yang bisa dikendalikan, 50 persen jaringan irigasi strategis nasional di Pulau Jawa rusak, dan 27 persen seluruh jaringan irigasi nasional perlu rehabilitasi ringan hingga berat (DA Santosa, ”Waspadai Pangan 2012”, Kompas, 11 November 2011).  Keterbatasan lahan pertanian merupakan persoalan besar lainnya. Dengan luas lahan pertanian pangan yang hanya 358 meter persegi per kapita untuk sawah atau 451 meter persegi jika digabungkan dengan lahan kering, upaya dan terobosan apa pun untuk peningkatan produksi akan mengalami jalan buntu. Kondisi tersebut diperparah dengan adanya konversi lahan pertanian ke non-pertanian. Angkanya 100.000 hingga 110.000 hektar per tahun. Padahal, lahan-lahan pertanian itu sebetulnya sudah ”dilindungi” oleh Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Di sisi lain masih banyak lahan tidur yang belum dimanfaatkan.  Teknologi peningkatan produksi juga masih terbatas.
            Masalah pengangguran, kemiskinan, fluktuasi harga pangan, dan tidak memadainya sarana prasarana distribusi pangan mengakibatkan masyarakat tidak mampu menyediakan dan mengkonsumsi pangan yang dibutuhkan.  Pelayanan kesehatan dan sarana hidup sehat (air bersih, rumah sehat) yang kurang(atau ada tetapi mahal)  berdampak pada kondisi gizi dan kesehatan yang rendah. 
            Lebih dari itu, penyebab utama masalah ketahanan pangan adalah penerapan system ekonomi kapitalis di Indonesia.  Sistem ini menghendaki tidak adanya (sedikitnya) campur tangan pemerintah dalam pengaturan urusan rakyat termasuk masalah pangan. Kebiijakan-kebijakan yang ditetapkan pemerintah justru merugikan rakyat dan bahkan memperparah masalah ketahanan pangan.  Beberapa kebijakan seperti  privatisasi, liberalisasi, deregulasi, dan subtitusi energi biofuel, sebagai inti dari Konsesus Washington kontraproduktif dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan untuk meningkatkan ketahanan pangan seperti kebijakan peningkatan produksi, peningkatan pendapatan masyarakat khususnya petani, maupun kebijakan stabilisasi harga pangan.
Henry Saragih (Ketua UmumSerikat Petani Indonesia), menyebutkan bahwa Bulog telah diprivatisasi sehingga beralih fungsi sebagai penyangga pangan sekaligus mencari keuntungan. Padahal semestinya Bulog mewakili pemerintah berperan sebagai penjamin ketersediaan pangan sekaligus menyokong kesejahteraan petani. Artinya Bulog dapat menyerap seluruh hasil panen raya petani dengan harga yang pantas, serta mendistribusikan kepada seluruh rakyat dengan harga yang murah. Jika ketersediaan pangan betul-betul kurang, barulah mengimpor sebatas kebutuhan. Industri hilir pangan hingga distribusi (ekspor-impor) dikuasai oleh perusahaan seperti Cargill dan Charoen Phokpand. Privatisasi ini pun berdampak serius, sehingga berpotensi besar dikuasainya sektor pangan hanya oleh pemegang monopoli atau oligopoli (kartel) seperti yang sudah terjadi saat ini.
Hal tersebut didukung oleh beberapa regulasi yang berpihak kepada perusahaan besar dan  mengalahkan pertanian rakyat. Seperti contoh UU No. 1/1967 tentang PMA, UU No. 4/2004 tentang Sumber Daya Air, Perpres 36 dan 65/2006, UU No. 18/2003 Tentang Perkebunan, dan yang termutakhir UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal. Dengan kemudahan regulasi ini, upaya privatisasi menuju monopoli atau kartel di sektor pangan semakin terbuka. Hal itu mengkondisikan rantai distribusi pangan akan sangat bergantung pada pemegang hak monopoli ataupun kartel. Rantai distribusi menjadi panjang karena pemegang monopoli dan kartel tidak melempar barang langsung ke konsumen, tetapi melalui rantai kartel yang mereka ciptakan. Pada gilirannya harga barang menjadi semakin mahal karena ditambah dengan biaya transportasi dan sering terjadi fluktuasi harga karena dipermainkan oleh pelaku monopoli yang menguasai pasar.
            Kebijakan dan praktek yang menyerahkan urusan pangan kepada pasar bebas (1998, Letter of Intent IMF), serta mekanisme perdagangan pertanian yang ditentukan oleh perdagangan bebas (1995, Agreement on Agriculture, WTO) merupakan upaya liberalisasi urusan pangan. Akses pasar Indonesia dibuka lebar-lebar, bahkan hingga tariff impor 0 % seperti kedelai (1998, 2008) dan beras (1998). Sementara subsidi domestik untuk petani terus berkurang (tanah, irigasi, pupuk, bibit, teknologi dan insentif harga). Di sisi lain, subsidi ekspor dari negara-negara overproduksi pangan seperti AS dan Uni Eropa—beserta perusahaan-perusahaannya—malah meningkat. Indonesia pun dibanjiri barang pangan murah, sehingga pasar dan harga domestik  hancur (1995 hingga kini).
Pencabutan subsidi pupuk, menjadikan kebijakan intensifikasi pertanian terhambat dan petani kehilangan gairah untuk meningkatkan produksi pertaniannya, disebabkan biaya produksi yang sangat mahal. Tidak ada kebijakan pembaruan agraria yaitu membagikan tanah kepada rakyat sehingga peningkatan produksi melalui ekstensifikasi sulit dilakukan. Pemerintah sibuk mengkapling-kapling tanah untuk perusahaan-perusahaan perkebunan. Saat ini kebanyakan lahan-lahan perkebunan sudah dikelola oleh perusahaan-perusahaan besar, bukan keluarga petani. Di sisi lain para petani membutuhkan lahan untuk meningkatkan produktivitasnya. Kepemilikan lahan petani yang hanya berkisar 0,3 hektar, jauh dari mencukupi untuk melakukan produksi yang efektif.
Permasalahan ketahanan  pangan yang muncul bukan persoalan produksi pangan semata. Ketahanan  pangan merupakan masalah multidimensional.  Dari berbagai indikator itu, maka ketahanan pangan mencakup masalah pertanian, perdagangan, pendidikan, tenaga kerja, kesehatan, sarana dan prasarana fisik.  Oleh karena itu penyelesaian masalah ketahanan pangan harus bersifat multidimensional dan didukung oleh sistem yang kuat dan kebijakan yang tidak saling kontraproduktif.
Politik Ekonomi Islam Menjamin Terwujudnya Ketahanan Pangan
            Islam sebagai ideologi yang sempurna memiliki aturan yang mengatur kehidupan manusia secara menyeluruh baik dalam hubungannya dengan Allah SWT (masalah aqidah dan ibadah), dengan dirinya (makanan, pakaian, akhlak) dan dengan sesamanya (masalah muamalah dan uqubat).  Berkaitan dengan ketahanan pangan, jauh sebelum PBB menetapkan Hari Pangan Sedunia dan mendefinisikan serta menetapkan ketahanan pangan sebagai kebijakan yang harus dilaksanakan oleh setiap negara, Islam sudah menetapkan keharusan pemenuhan kebutuhan pangan setiap orang. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT dan sabda Rasulullah SAW berikut:
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu”(QS Al Baqarah:233)
”Dan hak para isteri agar kalian (para suami) berbuat baik kepada para isteri dengan memberi mereka pakaian dan makanan”(HR IBNU MAJAH)
Siapa pun penduduk suatu masyarakat, di mana di antara mereka terdapat seseorang yang kelaparan maka telah lepas dari mereka jaminan Allah SWT”(HR Imam Ahmad)

Pada saat Islam diimplementasikan dalam kehidupan bernegara dalam bingkai Daulah Khilafah, jaminan terpenuhinya pangan setiap orang untuk hidup sehat dan produktif atau dengan kata lain terwujudnya ketahanan pangan lebih kokoh dengan adanya system dan politik ekonomi Islam yang diterapkan oleh negara.  
Sistem ekonomi merupakan pengaturan yang berkaitan dengan kepemilikan (kekayaan), pengelolaan kepemilikan, dan distribusi kepemilikan di antara manusia. Sistem ekonomi Islam menjamin kekayaan dikelola dengan baik dan terdistribusi dengan merata sehingga terwujud kesejahteraan setiap orang.
Politik ekonomi  adalah tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan berbagai kebijakan untuk mengatur dan menyelesaikan berbagai masalah kehidupan manusia dalam bidang ekonomi.  Politik Ekonomi Islam adalah penerapan berbagai hukum/kebijakan yang dilaksanakan oleh negara untuk menjamin tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok setiap individu masyarakat secara keseluruhan disertai jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan pelengkap(sekunder dan tersier) sesuai dengan kemampuan mereka sebagai individu yang hidup dalam masyarakat dengan gaya hidup tertentu.  Politik ekonomi Islam ini bermakna bahwa  (1) Islam memandang tiap orang sebagai manusia yang harus dipenuhi kebutuhan primernya secara menyeluruh sehingga politik ekonomi Islam tidak hanya mengejar peningkatan taraf hidup dalam suatu negara tanpa memperhatikan terjamin tidaknya tiap orang untuk menikmati kehidupan tersebut (2) Islam memandang individu dengan kapasitas pribadinya yang memungkinkan memenuhi kebutuhan pelengkap sesuai dengan kesanggupannya (3) Islam memandang bahwa setiap orang terikat dengan sesamanya sehingga tidak hanya mengupayakan kemakmuran individu dengan membiarkan mereka sebebas-bebasnya memperoleh kemakmuran tanpa memperhatikan terjamin tidaknya hak hidup orang lain.
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, maka garis besar pengaturan dalam politik ekonomi Islam mencakup garis-garis besar hukum/aturan yang terkait dengan sumber-sumber ekonomi  dan garis-garis besar hukum/aturan yang terkait dengan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok.  Dalam pandangan Islam, sumber-sumber ekonomi meliputi pertanian, industri, perdagangan, dan tenaga manusia (jasa).  Islam memberikan garis-garis besar aturan/hukum terkait dengan 4 hal tersebut misalnya hukum tentang pertanahan (metode kepemilikan dan pengelolaannya), perindustrian (status hukum industri menurut apa yang diproduksi), perdagangan (penerapan hukum jual beli untuk perdagangan dalam negeri dan aturan terkait dengan perdagangan luar negeri, dan perburuhan (pijakan penetapan upah).
            Berkaitan dengan garis-garis besar hukum/aturan jaminan kebutuhan pokok, Islam menjelaskan tentang cakupan kebutuhan pokok dan strategi pemenihannya.  Kebutuhan pokok dalam pandangan Islam yang ditetapkan berdasarkan alqur’an dan sunah mencakup kebutuhan pokok individu dan kebutuhan pokok masyarakat.  Kebutuhan pokok individu meliputi pangan, sandang, dan tempat tinggal (QS Al Baqarah:233, QS.at-Thalaq:6).  Sedangkan kebutuhan pokok masyarakat mencakup kesehatan dan keamanan (Siapa saja yang ketika memasuki pagi hari mendapati keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki bahan makanan hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya”(HR Bukhori, Tirmidzi, Ibnu Majah); ”Ingat! Bahwasannya darah dan harta benda kalian haram bagi kalian” ; Diantara tanda-tanda (datangnya hari) kiamat adalah menghilangnya ilmu dan menyebarnya kebodohan”(HR Bukhori, Muslim,Ahmad))
            Strategi pemenuhan kebutuhan pokok individu meliputi: (1) Islam mewajibkan laki-laki yang mampu menafkahi tanggungannya(QS.2:233, QS at-Thalaq:6,8); (2) Negara menyediakan berbagai fasilitas pekerjaan agar setiap orang yang mampu bekerja dapat memperoleh pekerjaan; (3) Apabila kepala keluarga tidak ada atau tidak mampu memberi nafkah kepada orang yang menjadi tanggungannya, maka kewajiban nafkah beralih ke kerabat dekat. “mulailah memberi nafkah itu dari orang yang menjadi tanggunganmu: ibumu, ayahmu, saudara perempuanmu, saudara laki-lakimu, kemudian famili terdekatmu “(HR Nasa’i); (4) Tetangga terdekat wajib memenuhi sementara kebutuhan pokok(pangan) tetangga yang kelaparan “tidak beriman orang yang tetap kekenyangan, sedangkan tetangga sampingnya kelaparan, sementara dia mengetahuinya.”(HR Al Bazzar); (5) Negara secara langsung  memenuhi kebutuhan pokok individu bagi yang tidak mampu dan membutuhkan.
            Sedangkan strategi pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat Islam menetapkan pemenuhan kebutuhan primer masyarakat kepada negara (”Seorang (pemimpin) adalah bagaikan penggembala dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya(rakyatnya)”(HR Bukhari)).  Jaminan kesehatan dilakukan yang Rasulullah mendapat hadiah dokter dari Mauquqis, Raja Mesir dan oleh Rasulullah dijadikan dokter  umum bagi seluruh rakyat dan Rasulullah membangun tempat pengobatan umum dan membiayainya dari baitul mal. Dalam menjamin pendidikan Rasulullah menetapkan kebijakan terhadap para tawanan perang badar bahwa mereka dapat bebas dengan mengajarkan baca tulis 10 orang penduduk Madinah, Khalifah Umar bin Khatab menggaji guru anak-anak sebesar 15 dinar setiap bulan (1 dinar=4,25 gram emas murni), Khalifah Al-Muntashir membangun Madrasah Mustansiriah di Baghdad, setiap siswa menerima beasiswa satu dinar (4,25 gram emas)tiap hari, makan dan sarana perpustakaan lengkap dengan ruang diskusi, kertas dan tinta , dan disediakan perpustakaan umum: darul Hikmah di Kairo dengan puluhan ribu buku, ruang diskusi, dan fasilitas lain untuk pengembangan ilmu.  Sedangkan mekanisme menjamin keamanan dengan menerapkan hudud(hukum pidana) yang tegas kepada siapa saja yang mengganggu keamanan jiwa, harta, dan darah.
            Penerapan politik ekonomi Islam akan menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok baik individu maupun masyarakat.  Oleh karena itu permasalahan ketahanan pangan yang terkait dengan kelemahan masyarakat terhadap akses pangan karena kemiskinan dan kelemahan ketahanan pangan karena masalah kesehatan akan  teratasi dengan mekanisme tersebut.   Lebih dari itu ketahanan pangan semakin kokoh dengan penerapan politik pertanian Islam yang menjamin produksi dan perdagangan pangan berjalan dengan optimal sehingga pangan tersedia dengan harga terjangkau yang menyebabkan  kebutuhan pangan terpenuhi dengan baik.
           
Politik Pertanian dalam Islam

Islam sebagai sebuah ideologi telah menjadikan bahwa pertanian adalah bagian integral dari persoalan manusia yang harus dipecahkan dan diatur dengan sebaik-baiknya sebagaimana sektor lainnya. Untuk itulah Islam ketika membahas pertanian maka ia dibahas sebagai bagian integral dari dari berbagai bidang kehidupan lainnya. Dan yang lebih penting lagi bahwa pembahasan Islam tentang politik pertanian diarahkan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pokok manusia dan upaya mereka untuk meningkatkan kesejahteraan.
Politik pertanian mencakup pengaturan di bidang produksi, pengolahan hasil, perdagangan hasil pertanian pertanian .  Kebijakan di bidang produksi bertujuan untuk peningkatan produksi untuk menjamin ketersediaan pangan.  Strategi peningkatan produksi diarahkan untuk  meningkatkan produksi bahan makanan karena  bahan makanan merupakan kebutuhan pokok masyarakat, meningkatkan produksi bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat pakaian seperti kapas, wool, pohon rami dan sutra, dan meningkatkan komoditi-komoditi yang memiliki potensi pasar luar negeri yang menguntungkan.
Program peningkatan produksi dilakukan dengan intensifikasi dan ekstensifikasi.  Program intensifikasi yaitu penggunaan sarana produksi yang baik seperti bibit unggul, obat-obatan, teknologi, bantuan modal.  Dalam hal ini negara akan memberikan bantuan sarana produksi tersebut dengan harga murah atau bahkan gratis. Program ekstensifikasi dilaksanakan melalui hukum-hukum yang terkait dengan pertanahan yaitu (1) Negara mendorong rakyat untuk menghidupkan tanah mati (“Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu adalah hak miliknya.” (HR. Imam Bukhari), (2) Negara memberikan tanah secara cuma-cuma kepada orang yang mampu dan mau bertani tetapi tidak memiliki lahan,(3)Negara memaksa orang yang memiliki lahan untuk mengolahnya kalau selama 3 tahun ditelantarkan maka akan diberikan kepada orang yang mau mengolahnya (Rasulullah saw. bersabda: “Siapa yang mempunyai sebidang tanah, hendaknya dia menanaminya, atau hendaknya diberikan kepada saudaranya. Apabila dia mengabaikannya, maka hendaknya tanahnya diambil” (HR. Imam Bukhari) dan “Umar mengatakan: ‘Siapa saja yang mengabaikan tanah selama tiga tahun, yang tidak dia kelola, lalu ada orang lain mengelolanya, maka tanah tersebut adalah miliknya.”), dan (4) Larangan menyewakan lahan pertanian (“Rasulullah saw. melarang menyewakan tanah. Kami bertanya: Wahai Rasulullah, kalau begitu kami akan menyewakannya dengan bibit. Beliau menjawab: ‘Jangan. ‘Bertanya (sahabat): ‘Kami akan menyewakannya dengan jerami. Beliau menjawab: “Jangan.” Bertanya (sahabat): ‘Kami akan menyewakannya dengan sesuatu yang ada di atas rabi. Beliau menjawab: “Jangan. Kamu tanami atau kamu berikan tanah itu kepada saudaramu.” (HR. Imam Nasa’i)).
Program intensifikasi dalam politik pertanian islam akan memungkinkan produksi pertanian berjalan dengan optimal karena petani tidak kesulitan berproduksi akibat tidak ada modal karena ada bantuan negara untuk mengusahakan pertaniannya.  Program ekstensifikasi dalam politik pertanian islam memungkinkan tanah pertanian termanfaatkan dan tidak ada masalah kesenjangan kepemilikan lahan antara petani kaya dan miskin.  Hal ini memungkinkan terjadinya pemerataan pendapatan dan terpenuhinya kebutuhan pangan secara merata.
Dalam rangka menganekaragamkan pangan, negara akan mendorong perkembangan industry pengolahan pangan dengan program antara lain mengatur jenis komoditi apa saja yang boleh atau tidak boleh dibuat sehingga akan tercipta produk makanan yang halal dan sehat (memperhatikan keamannnya), menyediakan sarana dan prasarana yang mendukung tumbuhnya industri pertanian secara memadai (bahan baku, transportasi, teknologi, pasar), dan menyediakan lembaga-lembaga pendukung lainnya (lembaga penyuluhan pertanian, lembaga penelitian).
Pemasaran produk pertanian tidak akan dilepas dalam pasar bebas tanpa kendali negara.  Dalam perdagangan hasil pertanian, negara melakukan berbagai kebijakan yang dapat menjamin terciptanya mekanisme pasar secara transparan, tidak ada manipulasi, tidak ada intervensi yang dapat menyebabkan distorsi ekonomi serta tidak ada penimbunan yang dapat menyebabkan kesusahan bagi masyarakat. Kebijakan yang ditempuh dalam perdagangan antara lain:
  Negara menyediakan berbagai prasarana jalan, pasar dan sarana transportasi yang dapat mengangkut hasil pertanian dan hasil industri pertanian secara cepat dan dengan harga murah. 
  Negara menjamin agar mekanisme harga komoditi pertanian dan harga komoditi hasil industri pertanian dapat berjalan secara transparan dan tanpa ada manipulasi (Rasulullah saw telah melarang melakukan penghadangan terhadap para pedagang” (HR. Bukhari-Muslim), Janganlah kalian hadang kafilah-kafilah (orang-orang yang berkendaraan) dan janganlah orang yang hadir (orang di kota) menjualkan barang milik orang desa.” (HR Bukhari-Muslim) .Larangan Rasulullah saw terhadap aktivitas ini, agar harga yang berlaku benar-benar transparan dan tidak ada yang memanfaatkan ketidaktahuan satu pihak –baik penjual maupun pembeli—. Dengan demikian harga yang berlaku adalah harga pasar yang sebenarnya.
  Negara membuat kebijakan yang dapat menjamin terciptanya harga yang wajar berdasarkan mekanisme pasar yang berlaku. Islam melarang negara mempergunakan otoritasnya untuk menetapkan harga baik harga maksimum maupun harga dasar. (“Suatu ketika orang-orang berseru kepada Rasulullah saw. menyangkut penetapan harga, “Wahai Rasulullah saw. harga-harga naik, tentukanlah harga untuk kami.” Rasulullah lalu menjawab : “Allahlah yang sesungguhnya Penentu harga, Penahan, Pembentang dan Pemberi rizki. Aku berharap agar bertemu kepada Allah tidak ada seorangpun yang meminta kepadaku tentang adanya kezaliman dalam urusan darah dan harta.” (HR. Ashabus Sunan). Negara boleh melakukan operasi pasar agar pasar berjalan normal.
  Pemerintah harus dapat mencegah terjadinya berbagai penipuan yang sering terjadi dalam perdagangan baik penipuan yang dilakukan oleh penjual maupun yang dilakukan oleh pembeli. Penipuan dilakukan oleh penjual dengan jalan mereka menyembunyikan cacat barang dagangan dari pembeli (“Tidak halal bagi seseorang yang menjual sesuatu, melainkan hendaklah dia menerangkan (cacat) yang ada pada barang tersebut.” (HR. Ahmad)).
  Negara mencegah berbagai tindakan penimbunan produk-produk pertanian dan kebutuhan pokok lainnya. Penimbunan adalah orang yang mengumpulkan barang-barang dengan menunggu waktu naiknya harga barang-barang tersebut, sehingga dia bisa menjualnya dengan harga yang tinggi, sementara masyarakat mengalami kesulitan untuk menjangkau harganya (“Tidak akan menimbun (barang) kecuali orang yang berdosa” (HR. Muslim), “Sejelek-jelek manusia adalah orang yang suka menimbun, jika mendengar harga murah dia merasa kecewa, dan jika mendengar harga naik dia merasa gembira.” (HR. Ibnu Majah dan Hakim))
Pengaturan perdagangan hasil pertanian ini memungkinkan harga pangan akan stabil dan produsen serta konsumen mendapatkan harga yang sesuai dengan keridloan masing-masing.  Dari sisi produsen hal ini akan mendorong untuk meningkatkan produksi dan dari sisi konsumen akan dapat membeli pangan dengan kualitas baik dan harga terjangkau.
Demikianlah penerapan politik ekonomi Islam dalam bingkai negara khilafah akan mampu menjamin terwujudnya ketahanan pangan tidak hanya di tingkat wilayah atau rumah tangga tetapi sampai tingkat individu, karena politik ekonomi Islam sejak awal sudah menetapkan jaminan  terpenuhinya kebutuhan pokok setiap individu.  Dunia baru memperhatikan ketahanan pangan sampai tingkat individu pada tahun 1990-an dan di Indonesia ketahanan pangan sampai tingkat individu baru dirumuskan pada UU no 18 Tahun 2012.  Sudah selayaknya setiap muslim yakin kepada Islam dan kembali dalam menerapkannya secara menyeluruh dalam kehidupan sehingga akan memperoleh kesejahteraan dunia dan akhirat. Wallahu a’lam.


Rujukan:
Abdurrahman Al Maliki.  2001. Politik Ekonomi Islam. Al Izzah
M. Reza Rosadi .  Serial Syariah: Politik Pertanian dalam Islam.
Taqiyudin An nabhani.  1996.  Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam. Risalah Gusti
Badan Pusat Statistik.  2012.  Perkembangan Beberapa Indikator Uata Sosial Ekonomi Indonesia, November 2012.
Solo Pos, Rabu 18 September 2013.  Sudah 2 Pekan Lamiyem Hanya Makan Tiwul.
World Food Program.  Peta Ketahanan dan Kerawanan Pangan Indonesia 2009.